Wonosobo (Humas) – Pada rangkaian Halaqah Pesantren: Revitalisasi Pendidikan Karakter Pesantren Angkatan IV, para peserta diajak menelusuri kembali akar filosofis, dinamika, serta strategi pembaruan pendidikan karakter melalui pemaparan tiga narasumber utama. Ketiganya menghadirkan spektrum pandangan yang saling melengkapi: mulai dari implementasi nilai dasar, telaah konseptual, hingga arah revitalisasi pendidikan karakter di era baru, Senin (8/12/2025).
Narasumber pertama, KH Imam Sonhaji, membuka diskusi dengan mengajak peserta melihat kembali bagaimana nilai-nilai pendidikan karakter terbentuk dan dihidupkan dalam keseharian santri. Ia menegaskan bahwa karakter tidak hanya lahir dari materi pembelajaran, tetapi terpatri melalui kebiasaan, keteladanan, dan lingkungan yang konsisten. Santri diberi amanah dalam kepengurusan pesantren, dilibatkan dalam kegiatan ibadah, pengajian, hingga mujahadah—semua menjadi ruang pembiasaan yang menginternalisasi nilai spiritual, tanggung jawab, serta kedisiplinan. Namun demikian, KH Imam mengingatkan bahwa kegiatan yang telah menjadi rutinitas kerap kehilangan maknanya apabila tidak disertai kesadaran. Karena itu, pendidikan karakter di pesantren harus selalu ditanamkan melalui tiga pilar: ilmu, hal (kondisi hati), dan amal, sehingga nilai agama tidak hanya diketahui, tetapi dirasakan dan diwujudkan dalam laku hidup sehari-hari.
Materi berikutnya disampaikan oleh Ngarifin Siddiq, yang mengurai dinamika dan konsep pendidikan karakter pesantren dalam konteks tantangan pendidikan Indonesia saat ini. Ia memaparkan bahwa banyak persoalan karakter di dunia pendidikan muncul akibat dominasi pendekatan kognitif semata, sementara aspek afektif dan perilaku belum terintegrasi secara optimal. Pesantren, menurutnya, menjadi rujukan penting karena sejak berabad-abad telah mengembangkan pendidikan karakter yang holistik melalui keteladanan kiai, disiplin tradisi, dan kehidupan berasrama. Dengan memadukan proses knowing the good, feeling the good, dan acting the good, pesantren terbukti berhasil melahirkan generasi berakhlak sekaligus berdaya. Ngarifin juga menyinggung tantangan modern: budaya digital, perubahan sosial, serta tuntutan kompetensi baru yang mesti dijawab tanpa menghilangkan akar tradisi. Pesantren, katanya, “harus menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan identitasnya sebagai pusat adab dan moralitas.”
Sebagai penutup, Sari Hernawati menyampaikan strategi revitalisasi pendidikan karakter pesantren yang berpijak pada kekuatan tradisi, namun bergerak progresif menjawab kebutuhan masa kini. Ia menekankan perlunya penguatan nilai dasar pesantren—kesederhanaan, kemandirian, keikhlasan, dan tanggung jawab—melalui sistem yang lebih terstruktur. Kiai, lanjutnya, tetap menjadi figur sentral sebagai role model moral, sementara kurikulum, tradisi turats, dan kegiatan harian menjadi jalur pembentukan karakter yang harus dirawat secara terukur. Revitalisasi, menurut Sari, tidak hanya mempertahankan pola lama, tetapi juga meliputi keberanian untuk membaca tantangan, mengintegrasikan literasi modern, memperkuat otoritas moral, dan membangun inovasi yang tetap sejalan dengan ruh pesantren. Dengan demikian, pesantren dapat terus berperan sebagai lembaga pendidikan Islam yang adaptif, relevan, dan berpengaruh bagi pembentukan karakter generasi masa depan.
Melalui paparan ketiga narasumber tersebut, halaqah ini tidak hanya memberikan pengetahuan konseptual, tetapi juga menghadirkan arah baru bagi penguatan pendidikan karakter pesantren: sebuah pendidikan yang berakar pada tradisi, berjiwa pada nilai, dan bertumbuh mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan cahaya.







